Mafaza POV - Life is Choise

Mafaza POV

Mafaza POV
Mataku masih menatap dekstop laptopku. Photo seseorang dengan senyum khasnya. Berdiri tegap, sorot matanya yang tajam menyiratkan betapa menggebunya ia dalam meraih mimpi. Sesekali senyum simpul muncul di bibirku, sesekali gelak tawa. Kau sangat mempesona, lucu. Itu kesanku. Ada hampir 102 photo mu di album salah satu folder laptopku. Ah.. lagi-lagi wajahmu menari-nari di pelupuk matamu. Sepertinya sayup-sayup ku dengar suaramu. tak begitu indah, tetapi cukup menyimpan kenangan di hatiku. Inikah namanya cinta, oh inikah cinta, terasa bahagia saat jumpa dengan dirinya. lagu cinta itu mengalun merdu di winamp. Kurasa lagu cinta itu cocok untuk soundtrack malam ini. Hahaha.. geli juga membayangkan malam-malam yang lalu. Kuhabiskan bersamamu. Kudengar cerita lucu, sedihmu. Benar. Temanku bilang, tak ada bosannya mendengarkan seorang yang kita cintai mengurai kata. Mungkin jika ia membaca 1000 cerita dongeng pun kita tetap bertahan. Kunikmati setiap alur kata-katamu. Hingga tanpa sadar aku terjerat oleh perasaan aneh ini. Rasa yang membuatku terasa kenyang, kurasa asam lambungku naik, membuat pipiku makin merah merona, rasa yang orang bilang itu Cinta. Hingga tiba malam itu, saat seorang sahabat mendukungku untuk menyatakannya. Sungguh, aku tak tahu apakah ini hal terbodoh atau sebaliknya. Pagi buta, aku menelponmu. Berat memang saat tiap kata hendak kusampaikan. Rasanya ada duri di pita suaraku. Rasanya ada tali mengikat leherku. Sesak. Aku sampaikan cepat. Aku berharap kau tak mendengarnya secara jelas. Namun tetap saja, kau bukan orang tuli. Pastinya kau dengar tiap kalimat yang kusampaikan. Aku tak kuasa menahan air mata yang sejak kemarin kubendung. Oh.. Rasanya legaaaa sekali. Inikah namanya cinta. Ku dengar tawamu. Kulanjut ceritaku dengan alasan mengapa ku menyukaimu dan kau hanya ucapkan terimakasih. Disitu aku tahu, seharusnya aku tak tergesa-gesa. Aku masih ingat sekali pendapatmu tentang seseorang yang menyatakan cinta. Itu sah. Namun konsekuensinya, orang itu tak punyai hak untuk memaksanya membalas cintanya pula. Aku ingat itu. Kurasa episode berikutnya sealur dengan pendapatmu. Ku tutupi kekhawatiranku dengan gelak tawa yang sesekali diselingi tangis yang kupendam. Ironis, tangis apa ini? sedih kah? atau bahagia? Percakapan kita berakhir saat adzan subuh berkumandang. Kutunaikan sholat, kupanjatkan doa. entah mengapa, Ada penyesalan yang menyeruak tiba-tiba. Dosakah aku? Lagi-lagi bulir-bulir air mata menetes di pipiku. Oh.. melankolis sekali aku. Hari-hari berikutnya, kucoba untuk bersikap seperti biasa kepadamu. Sehari aku tak menghubungimu, kurasa aku harus menetralisir perasaanku. Atau melupakan perasaanku ini padamu. Hari berikutnya, sulit menghubungimu. Mungkin kau sibuk dengan kawan-kawanmu. Akhirnya aku bisa mendengar suaramu lagi, walau harus menunggu sekian jam. Kaku. Kukatakan padamu untuk melupakan semua kata-kata ku. Anggap saja aku bergurau. Aku hanya tak ingin berlarut-larut dalam bayangan semu. Dan kau mengiyakan. Sungguh, itu cukup menyakitkan. Itulah kenyataannya. Hari berikutnya, kulihat salah satu stat di sosial mediamu. Entah mengapa hatiku seperti hancur berkeping-keping, sakit sekali. Hal serupa yang pernah aku rasakan beberapa tahun silam. Aku menangis lagi. 2 kali kurasakan cinta. Hanya cinta yang selalu membuatku mengalirkan ait mata. Inikah yang namanya cinta??? Akhirnya, selama beberapa hari kau hendak pergi jauh. Itu tugas mu. Doaku selalu menyertaimu. Aku tak tahu kau merasakannya atau tidak. Yang kupinta pada Tuhan semoga Ia selalu menaungi rahmat, keberkahan, kemudahan dalam setiap langkahmu. Aku berusaha menahan rasa rindu yang teramat sangat. Aku berusaha bersikap seolah aku tak pernah menyukaimu. Kau seperti layaknya teman akrabku lainnya. Sungguh, itu penuh kepura-puraan. Satu hari, kudapati stat dalam sosmed mu, lagi dan lagi. Aku ingat kembali. Kau mencintai wanita lain. Untuk kali ini aku tersenyum, aku tak ingin meneteskan tangisan seperti sebelum-sebelumnya. Walau kutahu, inilah puncaknya. Kau tak akan pernah melihatku. Tuhan, hilangkan perasaan ini. Buatlah seperti sebelumnya. Persahabat kami mengalir lebih indah dari pada saat ini. Aku terus meyakinkan diriku bahwa aku tak mencintaimu. Kau tak lain hanyalah teman. TEMAN. Dan itu sulit. Ku tahu kau telah pulang. Ada sebersit harapan untuk menjalin persahabat yang sempat terputus beberapa hari. Kau sulit dihubungi. Lagi-Lagi tak seperti biasanya. Seperti ada yang membatasi. Tirai. Apakah kau menghindariku? pertanyaan itu terus menghantuiku. Sebenarnya tak ada hak ku untuk memaksa, tapi apa salahku?. Kali ini tangisku pecah. Kau mungkin bosan atau tak ingin tahu tentangku lagi. AKU SOK TAHU YA. Hmm... tapi kenapa? Untuk aktivitasmu, aku bisa memahami. Tapi yang satu ini? Maafkan aku, mungkin kehadiranku mengusikmu. Mungkin aku hanya teman dengan obrolan tak menarik, membosankan. Sejak itu, sebenarnya bukan sejak itu. Semenjak kukatakan perasaanku. Aku mulai menjarangkan komunikasi denganmu. Aku takut mengganggumu. Aku takut kau salah mengartikan. Bukankah sudah kupinta kau untuk melupakan kalimatku subuh itu? Jadi, sekarang sebenarnya siapa yang menghindar? pertanyaan teman curhatku membuatku terhenyak. Aku sadar. Justru aku yang memulainya. Seolah membangun benteng pertemanan kita. Aku tak tahu tentangmu. Aku tak ingin menduga-duga. Tapi sudahlah, kurasa aktivitasku sekarang cukup padat. Walau seringkali wajahmu menari-nari di mataku. Otakku melayang-layang tentangmu. Namun, alangkah baiknya aku memendam perasaan ini saja. Ada target yang harus aku selesaikan. Kurasa itu lebih penting. Beberapa hari disaat kesibukan demi kesibukan mulai merambah sejenak aku bisa mengibas perasaan ini. Tapi disaat semua mulai terkendali dan aku bisa berkilah dari kesibukan. Relax. Lagi dan lagi. Oh.. shit..!! Andai saja dulu aku tak menyatakannya padamu. Andai saja waktu bisa diputar kembali. Andai saja oh andai saja. Mungkin tak akan seperti ini jadinya. Haruskah aku menuntut? tak ada hak ku. Biarlah ia mengalir apa adanya. Dengan mengenalmu, kau memberi semangat dalam setiap langkahku, terutama saat kurangkai kata menjadi sebuah karya. Kau yang mengajarkanku. Terimakasih kawan. Cinta yang dulu pernah kurasakan. Biarlah.. Biarlah, aku tak memaksamu untuk membalasnya. Cukup saja aku yang terkelabui. Terimakasih telah hadir dalam hatiku. Semoga Allah selalu menaungi Rahmat-Nya padamu, kawan :) Cinta dalam diam itu indah. Sungguh, lebih indah dari yang ku kira. Bersabarlah..!! :)


EmoticonEmoticon

Formulir Kontak