first meet - Life is Choise

first meet

first meet
Akhir-akhir ini aku benar-benar merasa jenuh, otakku seolah membeku, lidahku kelu bahkan untuk sekedar membaca apalagi menuliskan sebuah syair yang biasanya mampu mengalir dengan indahnya melalui tarian jemariku di keyboard laptop atau ponsel. Ah rasanya.. aku benar-benar semakin bodoh saja. Bahkan untuk mencurahkan perasaanku pun itu terasa sulit apalagi membuat karya sastra berlembar-lembar. Emosiku pun seringkali memuncak acapkali kutemui sesuatu yang sulit sekali ku selesaikan. Entahlah.. apa yang membuatku seperti ini. Akankah ada laser pembeku yang telah membekukan otakku? Atau ada gumpalan darah di otakku sehingga memperlambat kerja otakku? Ataukah aku lupa kalau sebelumnya aku pernah mengalami kecelakaan yang menimpa otakku dan itu tak kusadari? Entahlah.. semua berhubungan dengan otak. Oh tidak.. kurasa aku keliru, itu bukan karena otak. Karena hati. Ya.. karena hati. Coba aku menulis karena gerakan hati, lembut, tulus. Ataukah ini yang dimaksud penyakit hati? Kejenuhan ini mulai kurasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Tepatnya 5 bulan yang lalu. Saat aku mulai bertemu sosok itu. Lelaki yang juga berprofesi sebagai penulis, sama sepertiku. Bedanya menulis bagiku bukanlah hal utama dan bukan hal yang perlu diprioritaskan. Namun dia, menurutnya menulis adalah jantungnya, saat ia mulai berhenti untuk menulis, saat itulah ia merasakan jantungnya mulai berhenti dan ia tak inginkan itu. Hingga bagaimanapun caranya ia akan berusaha untuk merangkai kata, mencari ide dan menuangkan dalam balutan cerita. Ia bukan sepertiku penulis novel remaja, selalu tentang cinta namun bukan dari hati yang digelanyut cinta. Bukan. Ia adalah penulis sejati, menulis ada jembatan baginya untuk mencurahkan ilmu, kreatifitas dan menambah pahala. Seringkali kudengar ia berkata “aku tak tahu sampai berapa umurku, jika dengan menulis itu mampu menambah pahala untukku, aku akan terus menulis seumur hidup, sepanjang usiaku. Aku akan mengukir sejarah, menghentakkan dunia dengan tulisan-tulisanku, walaupun aku tak tahu entah kapan impian itu terjadi namun aku percaya, segalanya tak ada yang tidak mungkin, menulislah dari hati, menulislah karena Allah dan kau akan merasakan betapa indahnya menulis. Kau akan terus mengunggah kata demi kata hingga tanpa kau sadari ribuan halaman akan tercipta dengan indah di hadapanmu, setidaknya indah menurutmu” Jawaban yang sangat optimis, aku hanya mampu menghela nafas saat mendengarnya. Bagiku menulis hanya sebuah profesi, mencurahkan isi hati, menghilangkan kejenuhan. Aku tak menemukan begitu banyak keistimewaan dalam tulisan-tulisanku. Masih kuingat puluhan cerpen, novel, puisi berbentuk word dalam salah satu folder di laptopku, semua hanya bungkam. Membusuk dalam kungkungan penjaraku. Ya.. hanya beberapa karya yang ku publish di media, selebihnya aku biarkan membangkai. Itu pun dulu, ketika aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu aku kelas dua SMP. Ada sebuah majalah pendidikan di kabupatenku. Pertama kali aku mendapatkannya di awal ajaran baru, aku benar-benar terkesima. Sebelumnya yang kutahu untuk mendapatkan sebuah majalah seperti itu harus pergi ke luar kota atau hanya beredar di kota-kota besar saja. Tetapi saat kubaca alamat redaksi yang ternyata tak jauh dari tempat sekolahku, aku merasa ada kesempatan emas untukku mengembangkan bakat. Oh tidak, saat itu aku belum percaya bakatku di bidang menulis. Yang kutahu saat itu hanya, AKU SUKA MENULIS. Apa pun itu, curahan isi hatiku, sajak, peristiwa yang terjadi di sekitarku, yang kulihat, kudengar, kucium, kurasakan, kutemui, menarik ataupun tidak. Semua kutulis di sebuah buku yang sekarang tak kutahu dimana keberadaannya. Kembali lagi ke majalah “EDUKITA” aku masih ingat pertama kali kubaca edukita, aku banyak mengingat majalah bobo yang sering kuambil dari perpustakaan saat aku masih SD. Ada puisi, cerpen, info menari, TTS. Akhirnya akupun berniat untuk mengirimkan 2 buah puisi (puisi berbahasa Indonesia dan inggris) dan sebuah pertanyaan untuk redaktur (ada salah satu rubrik berisi beberapa pertanyaan pembaca untuk redaksi). Satu tahun kemudian, yes sebuah puisi dan pertanyaanku dimuat di majalah itu (majalah itu memang terbit satu tahun sekali). Aku lupa judul puisi itu. Aku merasa sangat senang, tubuhku seolah melayang ketuka kulihat ada sebaris namaku yang tertera di salah satu rubric majalah itu yang kuketahui dari adik kelasku. Sejak itu, aku mulai giat untuk menulis. Walaupun kutahu tulisanku tak lebih baik dari sebuah cerita sehari-hari yang membosankan. Tapi aku menikmatinya. Aku pun kembali mengirimkan sebuah tulisan artikel ,puisi dan pertanyaan. Kalau puisi yang satu ini aku masih ingat, judulnya “DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA”. Aku akan setia menunggu mu edukita. Setahun kemudian, lagi puisiku dimuat di majalah edukita. Ah.. senangnya, sejak itu aku mulai mengirim beberapa puisiku di Koran, majalah. Walaupun aku tak tahu itu dimuat atau tidak. Itu sekilas cerita mengapa aku menyukai dunia perauthoran. Kembali pada sosok itu. Namanya aneh saat pertama kali aku mengejanya, kupikir itu bukan nama asli. Ya.. nama pena. Puisinya seringkali kubaca di dinding salah satu sastrawan favoritku. Sepertinya tak salah bila kujadikan kawan, pikirku. jenuh


EmoticonEmoticon

Formulir Kontak