I can't Breathe again - Life is Choise

I can't Breathe again

I can't Breathe again
Sepertinya memang sudah digariskan sedemikian rupa. Tak ada celah. Tak ada ruang. Tak ada yang membekas. Rasanya sudah mati rasa saja. Ya, angin topan pun tak mampu menggoyahkan. Kisah ini hanya selayang pandang bagimu. Tak ada yang menarik. Terlalu cepat jika harus dikatakan sekarang. Untuk kesekian kalinya aku harus menerima kenyataan pahit ini. Rongga dadaku mulai sesak. Sepertinya coretan tinta di kertas yang kugenggam saat ini cukup membuat air mataku menetes. Coretan tinta berisi curahan hati seseorang yang tak sengaja kutemukan di sebuah laci meja laboratorium. Aku tahu siapa si empunya. Aku cukup mengerti siapa dia. Bagaimana tidak, dialah Pandu. Lelaki yang kini bersemayam dalam hatiku. Namaku Mona, Monalisa. Aku tak tahu mengapa orang tuaku memberi nama itu. Mungkin karena beliau terinspirasi oleh lukisan Monalisa. Seseorang mengatakan kalau nama adalah doa. Kurasa tidak untukku, aku tak secantik Monalisa yang ada dalam lukisan Leonardo da Vinci. Tak banyak orang yang mengenalku. Mungkin aku layaknya satu dari triliunan semut yang ada di dunia ini. Kalaupun mati satu, tak akan mempengaruhi semut lainnya. Kalaupun mati satu, ribuan semut masih bisa berkeliaran. Tanganku bergetar. Kepalaku berat. Mataku memanas. Sepertinya kadar asam di lambungku naik. Mual. Sepertinya ada benda asing yang menimpa dadaku. Sesak. Air mataku menetes. Aku tak kuasa membendung. Untungnya aku sendiri di ruangan 8x5 m ini. Kakiku melemas. Ini untuk kesekian kalinya aku patah hati. Harusnya aku lebih kuat. Tapi mengapa semakin aku melihat kertas ini. Semakin tangisku tak berhenti. Aku layaknya patung yang terus mengeluarkan air dari mata. Ini Aneh. Seharusnya aku lebih tegar, bukankah dia hanya teman? Bahkan mungkin dia tak mengenalku. Aku hanya gadis kecil, tanpa prestasi, tak dikenal, bahkan teman sekelasku pun tak jarang yang lupa nama asliku. Ya, Namaku memang Monalisa, tetapi teman-teman di kelasku lebih sering memanggilku Ade. Kurasa, karena nama itu yang melekat padaku sejak aku kecil. Hanya ibu dan kak Syadad yang memanggilku Mona. Kak Syadad? Dia kakak ku. Kalau aku hanya gadis kecil tanpa prestasi dan pendiam. Maka berbeda dengan kak syadad, dia tipe lelaki yang aktif, cuek, innocent, berwajah tampan dan berprestasi. Ayahku sering membangga-banggakannya di depanku. Sebenarnya aku juga sebal, tapi memang itulah kenyataannya. Kakak ku sering menghiburku dengan suaranya, satu lagi kelebihannya. Dia pandai bermain musik. Lagu favoritku adalah “don’t dream it’s over” kalau crowded house menyanyikannya dengan genre soft rock, kak Syadad bisa mengubahnya temponya menjadi adagio. Intinya, Banyak perempuan yang menyukainya. Bahkan rela berkorban demi mendapat cinta kak Syadad. Dan kebanyakan diantara mereka tak tahu kalau Syadad prince of charming sekolah punya adik gadis kecil cupu macam aku. Ibuku. Aku sangat mencintainya. Beliaulah alasan pertamaku untuk tetap bertahan sekolah. Sebelumnya aku sempat frustasi. Tepatnya kelas VII SMP, banyak yang mengolok-olokku, terutama karena tanganku. Ukuran tanganku memang tidak biasa. Abnormal. Salah satu telapak tanganku pun mengalami kelainan. Aku tak tahu namanya apa. Yang kurasa tanganku seringkali lemas dan susah digerakkan. Makanya aku sering menyembunyikan tanganku saat ada orang yang berkenalan. Itulah yang mengubahku menjadi pribadi yang introvert, pemalu dan penakut. Aku malu dengan keadaanku. Aku pun tak mau berangkat sekolah. Satu bulan penuh aku absen. Aku hanya menghabiskan waktuku dengan melukis. Tangan kananku memang tak berfungsi maksimal, tapi aku masih punya tangan kiri. Masih jelas kuingat ibu dan kak Syadad sedih melihat keadaanku yang semakin terpuruk. Ayah hanya bisa meracau. Meneriaki ku sebagai anak tak berguna. Aku ingat sekali ayah bilang kalau sebaiknya aku mati sejak bayi dari pada harus tumbuh besar menjadi aib. Sungguh menyakitkan. Aku hanya diam, kemudian menangis di pangkuan ibu saat ayah telah pergi. Terang saja, kalau aku menangis dan ayah melihatku. Pasti satu lidi melayang di bokongku. Pedih. Itu yang sering ku alami saat kelas 2 SD. Disaat aku terpuruk, ibulah yang memberiku semangat. Pihak sekolah SMP ku hampir saja mengeluarkanku. Tapi ibu pergi ke sekolah dan entah bagaimana hingga akhirnya sekolah mau menerimaku kembali dengan beberapa syarat khusus. Aku berhasil melewatinya. Oh… aku hampir saja lupa. Kertas ini. Pandu yang menulisnya. Saat aku pulang, aku baru ingat kalau aku melupakan sesuatu. Jam tanganku tertinggal di laboratorium. Berhubung jam terakhir tadi mata pelajaran biologi. Aku menaruhnya di laci. Saat kuambil. Ada kertas terjepit di jariku. Sekilas hanya kertas lecek dengan tulisan rapi. Iseng saja kubuka dan kubaca. Sungguh, seperti petir di siang bolong. Sekarang ku tahu kalau surat itu ada surat cinta Pandu untuk Maya teman sekelasku. Mungkin Maya lupa atau tertinggal. Lagi-lagi rongga dadaku terasa sesak. Ruangan luas ini seperti mulai menciut. Menjepitku. Beginikah rasanya menjadi orang cacat? Tak ada cinta. Hanya luka membekas lama. Oh… lagi dan lagi aku merasakannya, seperti inikah? Oh.. I can’t Breathe, again.


EmoticonEmoticon

Formulir Kontak