Life is Choise
This is me

This is me

aku jahat ya?? ah.. aku suka itu. aku suka saat menjadi diriku sendiri, bicara semau sendiri. seolah-olah isi dalam otak berhamburan dengan ringannya. Aku suka itu. saat aku mulai memahami diriku sendiri. Apa adanya aku. Bukan karena orang lain aku harus berpura-pura lembut, tersenyum manis, berkata indah, bahkan mungkin aku bisa hafal kata2 mutiara dalam kamus. Ahh.. aku kembali menghela nafas. Kuhempaskan tubuhku di atas busa yang tak terlalu empuk namun cukup nyaman untuk kutiduri. Mataku lurus menatap langit2 kamar kost ku. Warna abu-abunya cukup meredupkan ruangan berukuran 4x5 meter ini. Aku masih ingat peristiwa 3 hari terakhir ini. Aku merasa puas. Sepertinya penat di atas pundakku mulai menguap satu per satu. Mungkin orang bilang aku jahat. Tidak punya perasaan. Kata-kataku menyakitkan orang lain. Sadis. Keras kepala. Aku tak harus bersikap manis kan?? atau berpura-pura semuanya berjalan dengan baik2 saja. ah.. aku suka apa adanya aku. I deeply and completely Love myselF.
Maafkan aku untuk satu malam ini….

Maafkan aku untuk satu malam ini….

Langkahku gontai. Lemas tak bertenaga. Kurasa ada seseorang yang menyihirku menjadi nenek bertubuh sintal. Malam ini terasa panjang. Mungkin sepanjang jembatan ampera yang gambarnya sering kulihat di kalender rumahku. Atau mungkin lebih. Tubuhku letih. Aku masih ingat peristiwa dua jam yang lalu. Nistakah aku? Aku hanya ingin emak makan enak di hari ulang tahunnya. Aku hanya merasa sedih jika harus melihat emak menangis di tengah malam. Dalam sujudnya. Pernah suatu hari aku memergoki emak menangis dan berdoa. Ada aku dalam doanya. Aku hanya bisa menguping dibalik pintu kamar emak. Ya Tuhan, keinginanku satu menikah dengan lelaki kaya raya, tampan, baik hati layaknya pangeran. Lalu membawaku dan emak di kehidupan yang lebih layak. Ya.. aku dan emak hanya hidup berdua, bapaku sudah pergi meninggalkan emak sejak aku kelas empat SD. Masih kuingat, bapak sering pulang membawa wanita cantik dengan baju belahan dadanya terlihat. Sangat sexy. Emak yang saat itu bekerja di pabrik dan biasa lembur malam tak tahu kelakuan bejat bapak. Hingga suatu hari emak menemukan baju dalam wanita di bawah tempat tidur. sontak, bapakku marah besar. Dia malah menyalahkan emak sebagai wanita tak tau diri. Lancang. Memukul emak bertubi-tubi. Aku yang saat itu masih kecil hanya bisa mendengar suara bass bapak. Aku sembunyi di bawah tempat tidurku sembari menutup muka. Aku takut sekali. Saat suara bapak tak lagi terdengar, aku mulai berani keluar kamar. Kutemukan tubuh emak terkulai di pojokan kamar dengan lebam di sekujur tubunnya. Bapak jahat. Setahun kemudian bapak meninggalkanku dan emak bersama wanita simpanannya. Persetan dengan bapak. Aku benci tapi emak selalu bilang padaku kalau bagaimanapun buruknya sikap bapak, beliau tetaplah bapakku. Sudah kewajibanku untuk menghormatinya. Kuhampiri emak yang saat itu masih berbalut mukena lusuhnya. Emak memelukku sambari berpura-pura kalau semua baik-baik saja. Aku aman selama ada emak walau kutahu butiran air itu menetes dipipi emak. Ah.. aku memang melankolis. Mengingat emak membuatku berbulir air mata. Aku kembali ingat peristiwa satu jam yang lalu. Aku yang menemui laki-laki itu. Lelaki tambun dengan kumis tipis. Aku mengenalnya dari tante Vira. Teman kerjaku dulu. “kau minta berapa, cantik?” ucapnya sembari matanya menyusuri tiap lekuk tubuhku. Aku terdiam. Gamang. Tapi emak harus makan enak malam ini. Tiba-tiba aku teringat nasihat emak, jadilah wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Wanita itu seperti batu-bata yang nantinya menjadi bahan untuk pondasi agama. “aku minta 3 juta” ucapku sedikit ragu. Maafkan aku emak sudah mengabaikan nasihatmu. “3 juta? Jangankan 3 juta, 3 milyar pun aku beri kalau kau mau ikut aku selamanya” ucapan lelaki itu disertai gelak tawa. “ayolah cantik, ikutlah denganku ke Eropa, aku akan menikahimu secara sah. Kau akan kuberikan kehidupan yang lebih layak” lanjut lelaki yang sudah kukenal dengan nama Rinto itu. “kalau aku ikut kamu ke Eropa, lalu bagaimana dengan emakku?” tanyaku “emakmu? Jangan khawatir, aku akan tetap menafkahi emakmu. Aku sudah terlanjur tergila-gila padamu, cantik” Aku mengangguk. Kurasa keputusanku tidak terlalu buruk. Inikah hasil dialog kami? Dia tersenyum. Puas. Mungkin seperti anak kecil baru memenangkan game nya. Terlalu girang. Ia langsung memelukku dan menciumku. Membawaku ke ranjangnya. Aku hanya diam. Emak, maafkan aku. Jika dulu aku bermimpi untuk mendapatkan suami seperti pangeran yang tampan, kaya raya dan baik hati. Mungkin sekarang aku harus melupakannya. Tuhan, maafkan aku untuk satu malam ini. Patrol, 10:47 WIB #diiringi hujan
I can't Breathe again

I can't Breathe again

Sepertinya memang sudah digariskan sedemikian rupa. Tak ada celah. Tak ada ruang. Tak ada yang membekas. Rasanya sudah mati rasa saja. Ya, angin topan pun tak mampu menggoyahkan. Kisah ini hanya selayang pandang bagimu. Tak ada yang menarik. Terlalu cepat jika harus dikatakan sekarang. Untuk kesekian kalinya aku harus menerima kenyataan pahit ini. Rongga dadaku mulai sesak. Sepertinya coretan tinta di kertas yang kugenggam saat ini cukup membuat air mataku menetes. Coretan tinta berisi curahan hati seseorang yang tak sengaja kutemukan di sebuah laci meja laboratorium. Aku tahu siapa si empunya. Aku cukup mengerti siapa dia. Bagaimana tidak, dialah Pandu. Lelaki yang kini bersemayam dalam hatiku. Namaku Mona, Monalisa. Aku tak tahu mengapa orang tuaku memberi nama itu. Mungkin karena beliau terinspirasi oleh lukisan Monalisa. Seseorang mengatakan kalau nama adalah doa. Kurasa tidak untukku, aku tak secantik Monalisa yang ada dalam lukisan Leonardo da Vinci. Tak banyak orang yang mengenalku. Mungkin aku layaknya satu dari triliunan semut yang ada di dunia ini. Kalaupun mati satu, tak akan mempengaruhi semut lainnya. Kalaupun mati satu, ribuan semut masih bisa berkeliaran. Tanganku bergetar. Kepalaku berat. Mataku memanas. Sepertinya kadar asam di lambungku naik. Mual. Sepertinya ada benda asing yang menimpa dadaku. Sesak. Air mataku menetes. Aku tak kuasa membendung. Untungnya aku sendiri di ruangan 8x5 m ini. Kakiku melemas. Ini untuk kesekian kalinya aku patah hati. Harusnya aku lebih kuat. Tapi mengapa semakin aku melihat kertas ini. Semakin tangisku tak berhenti. Aku layaknya patung yang terus mengeluarkan air dari mata. Ini Aneh. Seharusnya aku lebih tegar, bukankah dia hanya teman? Bahkan mungkin dia tak mengenalku. Aku hanya gadis kecil, tanpa prestasi, tak dikenal, bahkan teman sekelasku pun tak jarang yang lupa nama asliku. Ya, Namaku memang Monalisa, tetapi teman-teman di kelasku lebih sering memanggilku Ade. Kurasa, karena nama itu yang melekat padaku sejak aku kecil. Hanya ibu dan kak Syadad yang memanggilku Mona. Kak Syadad? Dia kakak ku. Kalau aku hanya gadis kecil tanpa prestasi dan pendiam. Maka berbeda dengan kak syadad, dia tipe lelaki yang aktif, cuek, innocent, berwajah tampan dan berprestasi. Ayahku sering membangga-banggakannya di depanku. Sebenarnya aku juga sebal, tapi memang itulah kenyataannya. Kakak ku sering menghiburku dengan suaranya, satu lagi kelebihannya. Dia pandai bermain musik. Lagu favoritku adalah “don’t dream it’s over” kalau crowded house menyanyikannya dengan genre soft rock, kak Syadad bisa mengubahnya temponya menjadi adagio. Intinya, Banyak perempuan yang menyukainya. Bahkan rela berkorban demi mendapat cinta kak Syadad. Dan kebanyakan diantara mereka tak tahu kalau Syadad prince of charming sekolah punya adik gadis kecil cupu macam aku. Ibuku. Aku sangat mencintainya. Beliaulah alasan pertamaku untuk tetap bertahan sekolah. Sebelumnya aku sempat frustasi. Tepatnya kelas VII SMP, banyak yang mengolok-olokku, terutama karena tanganku. Ukuran tanganku memang tidak biasa. Abnormal. Salah satu telapak tanganku pun mengalami kelainan. Aku tak tahu namanya apa. Yang kurasa tanganku seringkali lemas dan susah digerakkan. Makanya aku sering menyembunyikan tanganku saat ada orang yang berkenalan. Itulah yang mengubahku menjadi pribadi yang introvert, pemalu dan penakut. Aku malu dengan keadaanku. Aku pun tak mau berangkat sekolah. Satu bulan penuh aku absen. Aku hanya menghabiskan waktuku dengan melukis. Tangan kananku memang tak berfungsi maksimal, tapi aku masih punya tangan kiri. Masih jelas kuingat ibu dan kak Syadad sedih melihat keadaanku yang semakin terpuruk. Ayah hanya bisa meracau. Meneriaki ku sebagai anak tak berguna. Aku ingat sekali ayah bilang kalau sebaiknya aku mati sejak bayi dari pada harus tumbuh besar menjadi aib. Sungguh menyakitkan. Aku hanya diam, kemudian menangis di pangkuan ibu saat ayah telah pergi. Terang saja, kalau aku menangis dan ayah melihatku. Pasti satu lidi melayang di bokongku. Pedih. Itu yang sering ku alami saat kelas 2 SD. Disaat aku terpuruk, ibulah yang memberiku semangat. Pihak sekolah SMP ku hampir saja mengeluarkanku. Tapi ibu pergi ke sekolah dan entah bagaimana hingga akhirnya sekolah mau menerimaku kembali dengan beberapa syarat khusus. Aku berhasil melewatinya. Oh… aku hampir saja lupa. Kertas ini. Pandu yang menulisnya. Saat aku pulang, aku baru ingat kalau aku melupakan sesuatu. Jam tanganku tertinggal di laboratorium. Berhubung jam terakhir tadi mata pelajaran biologi. Aku menaruhnya di laci. Saat kuambil. Ada kertas terjepit di jariku. Sekilas hanya kertas lecek dengan tulisan rapi. Iseng saja kubuka dan kubaca. Sungguh, seperti petir di siang bolong. Sekarang ku tahu kalau surat itu ada surat cinta Pandu untuk Maya teman sekelasku. Mungkin Maya lupa atau tertinggal. Lagi-lagi rongga dadaku terasa sesak. Ruangan luas ini seperti mulai menciut. Menjepitku. Beginikah rasanya menjadi orang cacat? Tak ada cinta. Hanya luka membekas lama. Oh… lagi dan lagi aku merasakannya, seperti inikah? Oh.. I can’t Breathe, again.
Aashiqui 1 (fan fiction)

Aashiqui 1 (fan fiction)

Apne karam ki kar adaayein Yaara, Yaaraa... yaara! Mujhko iraade de Kasamein de, waade de Meri duaaon ke ishaaron ko sahaare de Dil ko thikaane de Naye bahaane de Khaabon ki baarishon ko Mausam ke paimane de Apne karam ki kar adaayein Kar de idhar bhi tu nigaahein Sun raha hai naa tu Ro raha hun main Sun raha hai naa tu Kyun ro raha hun main Manzilein ruswa hain Khoya hai raasta Aaye le jaaye Itni si iltejaa Ye meri zamanat hai Tu meri amaanat hai haan... Apne karam ki kar adayein Kar de idhar bhi tu nigaahein Sun raha hai naa tu Ro raha hoon main Sun raha hai naa tu Kyun ro raha hun main Waqt bhi thehara hai Kaise kyun ye huaa Kaash tu aise aaye Jaise koi duaa Tu rooh ki raahat hai Tu meri ibaadat hai “aku ingin sendiri, pergi ke tempat yang jauh” racau Rahul tak jelas “damn it, inilah yang kubenci saat konser” aku langsung meninggalkan konser, kudengar suara vivek memanggil namaku “aku butuh sendiri” Kakiku terus melangkah meninggalkan tempat konser menuju tempat parker mobilku. Menuju tempat biasa aku melepas penat dan lelah. Aku masih ingat pertama kali kudapat piala sebagai penyanyi pria terbaik, back songer terbaik, lagu-lagu RJ meledak di pasaran. ohh penghargaan itu. Braak,, oh SHIT, mobilku menabrak seorang wanita, akupun segera menghentikan laju mobilku. Wanita itu berdiri mematung “oh, NO. maaf, Apa kau baik-baik saja” “Baik apanya? Hari cerah, bukan? kamu tidur ya saat menyetir? Lihat gara-gara kamu belanjaanku jatuh, itu jatah untuk 3 hari di tempatku, uang 90 rupe ku juga hilang” sepertinya ia tak mengenaliku, mungkin karena kacamata dan jaket yang kukenakan. “iya maafkan aku nona” aku pun segera memunguti belanjaannya “oh 90 rupe” aku segera merogoh saku celana jinsku, tak ada uang. Oh shit Wanita itu memandangku ketus “itu uang yang banyak, apa yang kau lihat? Cepat bantu aku bereskan yang tersisa” “oh ya” “ada beberapa tomat di bawah mobil” ucapnya dengan nada memerintah, “akan aku antarkan uangnya, beritahu aku alamat rumahmu” “tidak, kamu seharusnya diberi pelajaran, membungkuklah dan ambil semua itu” ucap wanita berambut panjang itu.aku membugkuk dan berusaha mengambilnya, tapi sedikit susah. Terlalu jauh dari jangkauan tanganku. “itu busuk” suara wanita itu terdengar lebih lembut. Aku pun menghentikan usahaku mengambil tomat itu “maafkan aku nona, aku akan mengganti rugi atas kecelakaan ini” sungguh aku benar-benar tidak enak “apa maksudnya? Kau menghinaku? Aku memang bukan orang kaya ya? Aku ga punya mobil sepertimu, tapi aku punya harga diri” “aa,,aku tidak bermaksud menghinamu, aa,,aku Cuma..” “sudahlah, ingat ya tuan, kemudikan mobilmu dengan benar, jangan sambil tidur, yasudah lupakanlah” “ I’m really sorry, nona” “itu jatah untuk 2 hari” wanita itu langsung pergi meninggalkanku sendiri. Aku tak diberi kesempatan untuk membela diri. Ya sudahlah, ini memang salahku. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju bar. *** “Satu botol whisky” pintaku pada penjaga bar. Sepertinya ia tak mendengarku. Penjaga bar itu masih sibuk melihat sebuah acara di televisi. Shit. Berita tentangku meninggalkan konser. “maaf tuan, bar nya sudah tutup” lelaki itu menolehkan wajahnya kepadaku. “ma..maaf tuan RJ?” ucapannya terbata-bata, mungkin ia kaget melihatku, orang yang ia lihat beritanya di televisi. Dan ternyata kabur ke bar nya. “ha, sebotol whisky” ucapku lagi “ma.. maaf tuan, bar nya sudah ditutup. Aku bisa di pecat kalau bos ku tau” di berbicara dengan hati-hati Damn it, sial. “tapi tuan, ada satu bar dekat dari sini, biasanya tutup jam 1 sampai 2 malam” Segurat senyum dibibirku. “tapi sepertinya bar itu bukan level anda” “untuk saat ini tidak ada level bar dalam otakku” aku pun segera meninggalkan bar tersebut menuju bar selanjutnya *** Langkah kaki ku memasuki sebuah bar. Masih ramai. Tidak terlalu mewah. Ada seorang wanita menyanyi di panggung. Parasnya cantik, sederhana. Baju nya tak seindah seperti wanita-wanita di bar-bar yang biasa kudatangi. Aku tak asing dengan wajah wanita itu. Dia menggunakan kaos lengan panjang dan rok panjang. Tak ada kelap-kelip. Music mengalun, lagu ku. Wanita itu melihatku masuk. Dia memicingkan mata nya saat melihatku. Oh bukan , ia melihat sesuatu dibelakangku. Photo penyanyi senior. Tatap matanya seperti anak kecil meminta permen pada ibunya. Kurasa wanita itu fans beratnya. Suaranya merdu. “wishky” pesanku pada bartender. Aku masih memperhatikan wanita itu. Ia menyanyi begitu merdu namun tatapannya masih terlihat sinis. Memandangku. Kulihat seorang lelaki memberikan beberapa lembar uang kertas dan wanit itu menyambutnya. Ia letakkan uang itu pada kantung yang bertengger manis pada tiang microphone. Tunggu, dia mengambil selembar kertas diam-diam dan menggenggamnya erat-erat. Ia sembunyikan tangannya dibalik rok panjangnya. Ah.. sama saja. Aku masih mendengar suara wanita itu, Tu rooh ki raahat hai Tu meri ibaadat hai aaahh.. Ya Tuhan, suaranya begitu indah, aku baru pertama mendengar suara seindah ini. Suara surga. Aku tak percaya, kurasa dia menyanyikan laguku lebih indah dari pada aku. Aku berjalan mendekati nya. Dia hampir menyelesaikan lagunya. Ia membalikkan badan berbicara pada temannya yang tambun. Aku menaiki panggung. Dia berbalik tepat saat kulepaskan topi dan kacamataku. “tu,, Tuan RJ?” Wanita itu sedikit gugup “salam tuan RJ” teman-temannya member salam padaku “ha” aku mengangguk pelan “oh my God, maafkan aku tuan, aku tak seharusnya melakukan itu, menyuruhmu memunguti tomat, mengumpatmu, maafkan aku tuan, Guler, apa yang ku katakan semua bohong tentangnya. Lupakan saja” kulihat ia benar-benar salah tingkah “no, suaramu begitu indah nona” aku langsung membawanya kesamping panggung dan ia masih meracau meminta maaf padaku tentang insiden tabrakan tadi. “maafkan aku RJ” “No, diam sebentar” Ia terdiam “nam kya tumhara?” “Aarohi Keshav Skhirke” “Aarohi” Dia mengangguk pelan “kau punya suara yang sangat indah” “nehi, aku hanya…” “no, sssstt” aku memintanya diam “dengarkan saja” perintahku “ya” “kau menyanyikan laguku lebih baik dari pada aku, aku baru menyadari kesalahanku, kesalahan dalam lagu-laguku, aku belum pernah meresapi lagu-lagu yang kunyanyikan seperti ini” “kau bercanda?” suaranya tak terbata-bata lagi “tidak, aku tak pernah bercanda saat itu tentang menyanyi” Aku memandang wajahnya yang terlihat ketakutan.
first meet

first meet

Akhir-akhir ini aku benar-benar merasa jenuh, otakku seolah membeku, lidahku kelu bahkan untuk sekedar membaca apalagi menuliskan sebuah syair yang biasanya mampu mengalir dengan indahnya melalui tarian jemariku di keyboard laptop atau ponsel. Ah rasanya.. aku benar-benar semakin bodoh saja. Bahkan untuk mencurahkan perasaanku pun itu terasa sulit apalagi membuat karya sastra berlembar-lembar. Emosiku pun seringkali memuncak acapkali kutemui sesuatu yang sulit sekali ku selesaikan. Entahlah.. apa yang membuatku seperti ini. Akankah ada laser pembeku yang telah membekukan otakku? Atau ada gumpalan darah di otakku sehingga memperlambat kerja otakku? Ataukah aku lupa kalau sebelumnya aku pernah mengalami kecelakaan yang menimpa otakku dan itu tak kusadari? Entahlah.. semua berhubungan dengan otak. Oh tidak.. kurasa aku keliru, itu bukan karena otak. Karena hati. Ya.. karena hati. Coba aku menulis karena gerakan hati, lembut, tulus. Ataukah ini yang dimaksud penyakit hati? Kejenuhan ini mulai kurasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Tepatnya 5 bulan yang lalu. Saat aku mulai bertemu sosok itu. Lelaki yang juga berprofesi sebagai penulis, sama sepertiku. Bedanya menulis bagiku bukanlah hal utama dan bukan hal yang perlu diprioritaskan. Namun dia, menurutnya menulis adalah jantungnya, saat ia mulai berhenti untuk menulis, saat itulah ia merasakan jantungnya mulai berhenti dan ia tak inginkan itu. Hingga bagaimanapun caranya ia akan berusaha untuk merangkai kata, mencari ide dan menuangkan dalam balutan cerita. Ia bukan sepertiku penulis novel remaja, selalu tentang cinta namun bukan dari hati yang digelanyut cinta. Bukan. Ia adalah penulis sejati, menulis ada jembatan baginya untuk mencurahkan ilmu, kreatifitas dan menambah pahala. Seringkali kudengar ia berkata “aku tak tahu sampai berapa umurku, jika dengan menulis itu mampu menambah pahala untukku, aku akan terus menulis seumur hidup, sepanjang usiaku. Aku akan mengukir sejarah, menghentakkan dunia dengan tulisan-tulisanku, walaupun aku tak tahu entah kapan impian itu terjadi namun aku percaya, segalanya tak ada yang tidak mungkin, menulislah dari hati, menulislah karena Allah dan kau akan merasakan betapa indahnya menulis. Kau akan terus mengunggah kata demi kata hingga tanpa kau sadari ribuan halaman akan tercipta dengan indah di hadapanmu, setidaknya indah menurutmu” Jawaban yang sangat optimis, aku hanya mampu menghela nafas saat mendengarnya. Bagiku menulis hanya sebuah profesi, mencurahkan isi hati, menghilangkan kejenuhan. Aku tak menemukan begitu banyak keistimewaan dalam tulisan-tulisanku. Masih kuingat puluhan cerpen, novel, puisi berbentuk word dalam salah satu folder di laptopku, semua hanya bungkam. Membusuk dalam kungkungan penjaraku. Ya.. hanya beberapa karya yang ku publish di media, selebihnya aku biarkan membangkai. Itu pun dulu, ketika aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu aku kelas dua SMP. Ada sebuah majalah pendidikan di kabupatenku. Pertama kali aku mendapatkannya di awal ajaran baru, aku benar-benar terkesima. Sebelumnya yang kutahu untuk mendapatkan sebuah majalah seperti itu harus pergi ke luar kota atau hanya beredar di kota-kota besar saja. Tetapi saat kubaca alamat redaksi yang ternyata tak jauh dari tempat sekolahku, aku merasa ada kesempatan emas untukku mengembangkan bakat. Oh tidak, saat itu aku belum percaya bakatku di bidang menulis. Yang kutahu saat itu hanya, AKU SUKA MENULIS. Apa pun itu, curahan isi hatiku, sajak, peristiwa yang terjadi di sekitarku, yang kulihat, kudengar, kucium, kurasakan, kutemui, menarik ataupun tidak. Semua kutulis di sebuah buku yang sekarang tak kutahu dimana keberadaannya. Kembali lagi ke majalah “EDUKITA” aku masih ingat pertama kali kubaca edukita, aku banyak mengingat majalah bobo yang sering kuambil dari perpustakaan saat aku masih SD. Ada puisi, cerpen, info menari, TTS. Akhirnya akupun berniat untuk mengirimkan 2 buah puisi (puisi berbahasa Indonesia dan inggris) dan sebuah pertanyaan untuk redaktur (ada salah satu rubrik berisi beberapa pertanyaan pembaca untuk redaksi). Satu tahun kemudian, yes sebuah puisi dan pertanyaanku dimuat di majalah itu (majalah itu memang terbit satu tahun sekali). Aku lupa judul puisi itu. Aku merasa sangat senang, tubuhku seolah melayang ketuka kulihat ada sebaris namaku yang tertera di salah satu rubric majalah itu yang kuketahui dari adik kelasku. Sejak itu, aku mulai giat untuk menulis. Walaupun kutahu tulisanku tak lebih baik dari sebuah cerita sehari-hari yang membosankan. Tapi aku menikmatinya. Aku pun kembali mengirimkan sebuah tulisan artikel ,puisi dan pertanyaan. Kalau puisi yang satu ini aku masih ingat, judulnya “DARI SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA”. Aku akan setia menunggu mu edukita. Setahun kemudian, lagi puisiku dimuat di majalah edukita. Ah.. senangnya, sejak itu aku mulai mengirim beberapa puisiku di Koran, majalah. Walaupun aku tak tahu itu dimuat atau tidak. Itu sekilas cerita mengapa aku menyukai dunia perauthoran. Kembali pada sosok itu. Namanya aneh saat pertama kali aku mengejanya, kupikir itu bukan nama asli. Ya.. nama pena. Puisinya seringkali kubaca di dinding salah satu sastrawan favoritku. Sepertinya tak salah bila kujadikan kawan, pikirku. jenuh
Mafaza POV

Mafaza POV

Mataku masih menatap dekstop laptopku. Photo seseorang dengan senyum khasnya. Berdiri tegap, sorot matanya yang tajam menyiratkan betapa menggebunya ia dalam meraih mimpi. Sesekali senyum simpul muncul di bibirku, sesekali gelak tawa. Kau sangat mempesona, lucu. Itu kesanku. Ada hampir 102 photo mu di album salah satu folder laptopku. Ah.. lagi-lagi wajahmu menari-nari di pelupuk matamu. Sepertinya sayup-sayup ku dengar suaramu. tak begitu indah, tetapi cukup menyimpan kenangan di hatiku. Inikah namanya cinta, oh inikah cinta, terasa bahagia saat jumpa dengan dirinya. lagu cinta itu mengalun merdu di winamp. Kurasa lagu cinta itu cocok untuk soundtrack malam ini. Hahaha.. geli juga membayangkan malam-malam yang lalu. Kuhabiskan bersamamu. Kudengar cerita lucu, sedihmu. Benar. Temanku bilang, tak ada bosannya mendengarkan seorang yang kita cintai mengurai kata. Mungkin jika ia membaca 1000 cerita dongeng pun kita tetap bertahan. Kunikmati setiap alur kata-katamu. Hingga tanpa sadar aku terjerat oleh perasaan aneh ini. Rasa yang membuatku terasa kenyang, kurasa asam lambungku naik, membuat pipiku makin merah merona, rasa yang orang bilang itu Cinta. Hingga tiba malam itu, saat seorang sahabat mendukungku untuk menyatakannya. Sungguh, aku tak tahu apakah ini hal terbodoh atau sebaliknya. Pagi buta, aku menelponmu. Berat memang saat tiap kata hendak kusampaikan. Rasanya ada duri di pita suaraku. Rasanya ada tali mengikat leherku. Sesak. Aku sampaikan cepat. Aku berharap kau tak mendengarnya secara jelas. Namun tetap saja, kau bukan orang tuli. Pastinya kau dengar tiap kalimat yang kusampaikan. Aku tak kuasa menahan air mata yang sejak kemarin kubendung. Oh.. Rasanya legaaaa sekali. Inikah namanya cinta. Ku dengar tawamu. Kulanjut ceritaku dengan alasan mengapa ku menyukaimu dan kau hanya ucapkan terimakasih. Disitu aku tahu, seharusnya aku tak tergesa-gesa. Aku masih ingat sekali pendapatmu tentang seseorang yang menyatakan cinta. Itu sah. Namun konsekuensinya, orang itu tak punyai hak untuk memaksanya membalas cintanya pula. Aku ingat itu. Kurasa episode berikutnya sealur dengan pendapatmu. Ku tutupi kekhawatiranku dengan gelak tawa yang sesekali diselingi tangis yang kupendam. Ironis, tangis apa ini? sedih kah? atau bahagia? Percakapan kita berakhir saat adzan subuh berkumandang. Kutunaikan sholat, kupanjatkan doa. entah mengapa, Ada penyesalan yang menyeruak tiba-tiba. Dosakah aku? Lagi-lagi bulir-bulir air mata menetes di pipiku. Oh.. melankolis sekali aku. Hari-hari berikutnya, kucoba untuk bersikap seperti biasa kepadamu. Sehari aku tak menghubungimu, kurasa aku harus menetralisir perasaanku. Atau melupakan perasaanku ini padamu. Hari berikutnya, sulit menghubungimu. Mungkin kau sibuk dengan kawan-kawanmu. Akhirnya aku bisa mendengar suaramu lagi, walau harus menunggu sekian jam. Kaku. Kukatakan padamu untuk melupakan semua kata-kata ku. Anggap saja aku bergurau. Aku hanya tak ingin berlarut-larut dalam bayangan semu. Dan kau mengiyakan. Sungguh, itu cukup menyakitkan. Itulah kenyataannya. Hari berikutnya, kulihat salah satu stat di sosial mediamu. Entah mengapa hatiku seperti hancur berkeping-keping, sakit sekali. Hal serupa yang pernah aku rasakan beberapa tahun silam. Aku menangis lagi. 2 kali kurasakan cinta. Hanya cinta yang selalu membuatku mengalirkan ait mata. Inikah yang namanya cinta??? Akhirnya, selama beberapa hari kau hendak pergi jauh. Itu tugas mu. Doaku selalu menyertaimu. Aku tak tahu kau merasakannya atau tidak. Yang kupinta pada Tuhan semoga Ia selalu menaungi rahmat, keberkahan, kemudahan dalam setiap langkahmu. Aku berusaha menahan rasa rindu yang teramat sangat. Aku berusaha bersikap seolah aku tak pernah menyukaimu. Kau seperti layaknya teman akrabku lainnya. Sungguh, itu penuh kepura-puraan. Satu hari, kudapati stat dalam sosmed mu, lagi dan lagi. Aku ingat kembali. Kau mencintai wanita lain. Untuk kali ini aku tersenyum, aku tak ingin meneteskan tangisan seperti sebelum-sebelumnya. Walau kutahu, inilah puncaknya. Kau tak akan pernah melihatku. Tuhan, hilangkan perasaan ini. Buatlah seperti sebelumnya. Persahabat kami mengalir lebih indah dari pada saat ini. Aku terus meyakinkan diriku bahwa aku tak mencintaimu. Kau tak lain hanyalah teman. TEMAN. Dan itu sulit. Ku tahu kau telah pulang. Ada sebersit harapan untuk menjalin persahabat yang sempat terputus beberapa hari. Kau sulit dihubungi. Lagi-Lagi tak seperti biasanya. Seperti ada yang membatasi. Tirai. Apakah kau menghindariku? pertanyaan itu terus menghantuiku. Sebenarnya tak ada hak ku untuk memaksa, tapi apa salahku?. Kali ini tangisku pecah. Kau mungkin bosan atau tak ingin tahu tentangku lagi. AKU SOK TAHU YA. Hmm... tapi kenapa? Untuk aktivitasmu, aku bisa memahami. Tapi yang satu ini? Maafkan aku, mungkin kehadiranku mengusikmu. Mungkin aku hanya teman dengan obrolan tak menarik, membosankan. Sejak itu, sebenarnya bukan sejak itu. Semenjak kukatakan perasaanku. Aku mulai menjarangkan komunikasi denganmu. Aku takut mengganggumu. Aku takut kau salah mengartikan. Bukankah sudah kupinta kau untuk melupakan kalimatku subuh itu? Jadi, sekarang sebenarnya siapa yang menghindar? pertanyaan teman curhatku membuatku terhenyak. Aku sadar. Justru aku yang memulainya. Seolah membangun benteng pertemanan kita. Aku tak tahu tentangmu. Aku tak ingin menduga-duga. Tapi sudahlah, kurasa aktivitasku sekarang cukup padat. Walau seringkali wajahmu menari-nari di mataku. Otakku melayang-layang tentangmu. Namun, alangkah baiknya aku memendam perasaan ini saja. Ada target yang harus aku selesaikan. Kurasa itu lebih penting. Beberapa hari disaat kesibukan demi kesibukan mulai merambah sejenak aku bisa mengibas perasaan ini. Tapi disaat semua mulai terkendali dan aku bisa berkilah dari kesibukan. Relax. Lagi dan lagi. Oh.. shit..!! Andai saja dulu aku tak menyatakannya padamu. Andai saja waktu bisa diputar kembali. Andai saja oh andai saja. Mungkin tak akan seperti ini jadinya. Haruskah aku menuntut? tak ada hak ku. Biarlah ia mengalir apa adanya. Dengan mengenalmu, kau memberi semangat dalam setiap langkahku, terutama saat kurangkai kata menjadi sebuah karya. Kau yang mengajarkanku. Terimakasih kawan. Cinta yang dulu pernah kurasakan. Biarlah.. Biarlah, aku tak memaksamu untuk membalasnya. Cukup saja aku yang terkelabui. Terimakasih telah hadir dalam hatiku. Semoga Allah selalu menaungi Rahmat-Nya padamu, kawan :) Cinta dalam diam itu indah. Sungguh, lebih indah dari yang ku kira. Bersabarlah..!! :)
Tamu Istimewa

Tamu Istimewa

I’m overboard and I need your love pull me up…. Suara Jessica Jarel berdering di ponselku. “Wa’alaikumsalam” jawabku setelah kudengar suara salam dari orang diseberang “ Nita, jangan lupa nanti sore Ferdi akan ke kostan mu” suara mama terdengar serius “Ferdi? Ferdi siapa ma?” tanyaku “Calon suami mu sayang” “apa? Calon suami?” “kok kamu kaget? Bukannya kamu yang minta dicarikan jodoh sama mama dan papa?” “iya sih, tapi kok secepat ini?” aku masih tidak percaya dengan ucapan mama sebelumnya “Lebih cepat, Lebih baik sayang, mama pengen cepet-cepet nimang cucu dari kamu” “tapi ma” “ya sudah, yang penting nanti sore kamu dandan yang cantik ya, mudah-mudahan kamu cocok sama Ferdi, anaknya baik kok, assalamualaikum” “ma,” tut tut tut “waalaikumsalam” Ah.. mama, kenapa harus nanti sore? Apa tidak terburu-buru kalau mengingat batalnya pernikahan ku dengan mas Anton 1 bulan yang lalu. Aku memang meninta mama dan papa untuk mencarikan jodohku, tapi bukan berarti harus secepat ini. Aku hanya menyerahkan saja. Aku trauma jika harus mencari sendiri calon suamiku. Mas Anton. Dialah lelaki yang membuatku berfikir buruk tentang pernikahan. Dia yang membuat rencana pernikahan kami gagal. Bagaimana tidak, saat malam pernikahan kami, dia pergi bersama wanita lain, Sachaa ke India. Tempat kelahirannya. Dia mencampakkanku. Harusnya mama mengerti kalau masih ada luka yang membekas dalam hatiku. 1 bulan itu singkat ma, tidak cukup aku untuk melupakannya. Bagaimana kalau Ferdi bukan tipe ku? Ah.. haruskah aku menyalahkan mama? Sudahlah, liat saja nanti sore, kuharap lelaki itu bukan lelaki macam Anton, Vean atau Danar. *** “Nita” seseorang menepuk pundakku. Aku menolehkan wajahku. Kuperhatikan baik-baik wajahnya. Tidak asing wajah lelaki berkacamata di depanku. Dia tersenyum. Ku ingat-ingat lagi wajahnya. “Agam ya?” tanyaku sedikit ragu-ragu. Takut salah menebak nama orang lebih tepatnya. “iya Nit, gimana kabar mu? Lama ngga ketemu” jawab Agam. Ada senyum yang mengembang dibibirnya. “kabarku baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri gimana?” aku balik bertanya. Tanganku masih memegang buku Dale Cornegie yang rencananya akan ku beli “ya,, seperti yang kamu lihat sekarang” jawab Agam. Lelaki itu masih sama seperti saat aku mengenalnya 5 tahun silam. Teman satu organisasiku. Ramah. Karismatik. Cerdas. Bijak. Perbincangan kami berlanjut dengan makan siang di salah satu restoran, mall tempat kami bertemu. Dia bercerita tentang pengalamannya kuliah di Kairo. Ya, dia memang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi nya disana. Saat harus kuliah sambil bekerja. Bertemu dengan orang-orang hebat. Dia benar-benar membuatku iri. Sementara aku, selepas kuliah hanya bekerja di RS swasta di Jakarta. Aku hanya bercerita tentang pengalamanku bekerja di RS. Saat aku mencoba daftar di Adelaid University dan mencari orang tua asuh. Ternyata hasilnya gagal total. Dia sering tertawa mendengar ceritaku, katanya aku seperti anak kecil sedang mengadu pada ibunya. Yang jelas aku tidak menceritakan tentang gagalnya pernikahanku, bisa-bisa restoran ini penuh air mata gara-gara terharu. Agam memang hebat. Tiba-tiba aku teringat dengan tamu istimewa yang mama ceritakan. Kalau difikir-fikir, kenapa bukan Agam saja yang melamarku? Dia orang yang baik. Diam-diam aku tertarik. Ah… lupakan Nita..!! dia hanya teman lama mu, paling dia sudah punya calon istri sendiri, apalagi di Kairo, perempuan disana terkenal cantik-cantik macam Cleopatra. Aku mana bisa dibandingkan. “oh ya,, kalau boleh tau mana istrimu? Ngga diajak?” tanyaku “Istri? Hahaha” pertanyaanku dijawab dengan gelak tawanya “apa ada yang salah dengan pertanyaanku?” batinku “iya” “aku belum menikah Nita” tangannya tiba-tiba mencubit pipiku lalu kembali tertawa Aah… emangnya aku anak kecil. Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal “ohh… jadi kamu belum menikah” kurasa wajahku semakin terlihat bodoh “iya belum, tapi sudah ada wanita yang akan ku lamar” “Tuh kan” rutukku dalam hati “iya, dia gadis yang baik, aku sudah mengenalnya sejak kuliah” lanjutnya “pasti ketemu di Kairo” batinku menebak “Doakan saja semoga lamaranku nanti berjalan lancar” ucap Agam “iya semoga lancar, semoga perempuan beruntung itu terpikat padamu” kataku. Seharusnya aku ikut bahagia mendengar teman lamaku ini akan melamar. Seharusnya. Tapi kenapa ada sebersit rasa kecewa dalam hati ku ya? Akankah aku sedih? Oh… lupakan Nita, dia hanya teman lama, teman satu organisasi dulu. Aku kembali teringat dengan tamu istimewa itu. Saat kulirik jam tanganku. Ya Tuhan, jam 3 sore, aku harus segera pulang. Walaupun aku sebal dengan keputusan mama menjodohkanku dengan lelaki yang disebut-sebut mama orang baik itu tapi setidaknya aku harus menghargai pilihan mama. Toh mama tidak memaksaku untuk mengiyakan, pada akhirnya keputusan ada di tanganku. Aku pun segera berpamitan dengan Agam. Aku bilang kalau aku ada janji dengan orang lain. Ia pun tak keberatan. Kursi baris kedua dekat jendela, menjadi saksi bisu pertemuan kami sore itu. Perasaan senang dan haru sempat menyeruak. Walaupun harus kusimpan rapat karena kutahu Agam sudah mempunyai pilihan lain. Semoga lelaki pilihan mama pun tak seburuk yang ku fikirkan. Menjadi imam untukku. Soleh dan mampu membimbingku kelak dalam membangun keluarga. *** Menyebalkan. Apa ini yang disebut lelaki baik. Melanggar janji seenaknya, omelku Kulihat jam dinding menunjukan pukul 21.00 WIB. Sekarang sudah malam, bukan sore lagi. Aku sudah menunggu lebih dari 4 jam. Mana tamu istimewa itu? Yang datang hanya pengantar bunga. Paling dari pak Wisnu, atasanku. Menyebalkan sekali. Aku hanya menaruh bunganya di meja tengah. I’m overboard and I need your… Mama “Assalamualaikum cantik” suara mama terdengar dari ponselku “Wa’alaikumsalam ma” jawabku “gimana tadi? Udah ketemu Ferdi? Anaknya baik kan?” mama memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah kutebak sebelumnya “udah ma, dalam mimpi” jawabku sebal “lho kok jawabnya gitu tadi sore dia datang kan?” Tanya mama lagi “Ngga ma, ngga ada yang datang satu pun” “masa sih?” mama tak menghiraukan kekesalanku. “Sayang besok lusa Ferdi dan keluarganya mau datang ke rumah, besok kamu pulang ya” Andai saja bukan mama yang memintaku. “iya ma” aku pun mengiyakan perintah mama tanpa menawar sedikitpun. Rasanya sulit sekali bilang tidak untuk mama. setelah mengucapkan selamat malam dan salam, mama pun menutup telfonnya. Aku pun kembali berkutat bersama laptop yang sedari tadi menemaniku menunggu tamu istimewa yang tak kunjung datang. *** Hiruk pikuk dirumahku tak membuatku bising. Di keramaian ini aku justru merasa sendiri. Aku tak tahu bagaimana keputusanku nanti. Aku tak mengenal Ferdi. Aku masih ragu apakah dia benar-benar baik atau sama saja seperti Anton, Vean dan Danar. Ah.. lagi-lagi tiga nama itu terngiang di otakku. Akankah aku bisa menemukan lelaki yang baik untuk menjadi imamku? Ya Tuhan.. aku merasa masih banyak kekurangan. Aku ingat nasihat mba Fitri setelah kuceritakan pengalaman pahitku dengan 3 lelaki itu. “Janji Allah nyata Nita. Jadi, kenapa perlu kamu ragu – ragu dengan janji Allah? Janji Allah itu kan PASTI! Tidak mungkin Allah ingkar, karena Allah maha menepati janji. Jadi, seandainya jodoh itu tak kunjung datang juga, mungkin saja ada yang salah dengan diri kita. Dari pada pusing untuk datang ke biro jodoh atau mencari dan mengejar jodoh melalui ramalan bahkan paranormal, lebih baik menunggu sembari berdoa agar diberikan jodoh yang terbaik oleh Allah. Wanita-wanita yang keji adalah untuk lelaki yang keji, dan lelaki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),dan wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mataku masih menatap cermin. Ada wanita berkerudung merah muda di depanku. Aku. Tiba-tiba air mata berlinang di pipiku. Jantungku berdetak cepat. Apakah lamaranku akan berjalan lancar sampai tiba saatnya pernikahanku? Suara mama memanggilku, memintaku keluar kamar dan menemui tamu yang katanya akan melamarku. Ya Allah, kuatkan imanku, peganganku dan hatiku dalam menanti Jodoh ketentuan-Mu dan terus-teruslah lindungi aku walau aku sendiri yang seringkali lalai dan alpa..amin... *** To be contined Sekarang aku sedang duduk manis di sofa, di sebelah kananku ada mama yang sedang berbincang dengan mamanya Ferdi, entah apa yang sedang mereka bicarakan seperti nostalgia jamannya SMA. Papa juga sama, tapi beda papa dan papa nya Ferdi sedang membicarakan masalah bisnis. Aku sendirian, mana Ferdi? Katanya ini acara lamaran, tapi kok seperti acara reuni orang tua. Heuh… tau gini mending ngga usah aja. “Oya, mana Ferdi?” Tanya mama, mungkin mama melihat gelagatku yang sedikit gusar “Ferdi masih di luar, sedang angkat telfon dari kantor katanya” jawab papa Ferdi, yang kini kukenal bernama Pa Rudi “kalau gitu, mending Nita keluar aja samperin Ferdi” ucap mamaku “aku ma?” aku mengernyitkan dahi “Ga salah?, aku yang nyamperin cowok itu? Ini siapa yang mau ngelamar sebenernya? Ahh.. 2 point negative buat Ferdi, satu, ingkar janji, dua, menyepelekan lamaranku. Jadi ngga yakin sama nih orang” gerutu ku dalam hati “ngobrolnya di taman saja Nit” timpal papaku Aku pun segera beranjak dari dudukku menuju teras rumah. Ada lelaki yang sedang berdiri memunggungiku. Aku diam saja menunggu ia menyelesaikan telfonnya. “ah.. mama, kenapa harus memintaku menemuinya, harusnya aku menunggu saja di dalam” sesalku dalam hati “hai” salam lelaki itu, rupanya ia telah menyelesaikan telfonnya “ha hai” jawabku terbata-bata Ya Tuhan,, mimpi apa aku semalam? Di depanku kini telah berdiri sosok yang sangat rupawan. Wajahnya tak asing. Tunggu dulu, bukankah ia si pengirim bunga kemarin lusa? Ya Tuhan,, pantas saja aku tak mengenalnya. Aku mengajaknya ke taman rumah. Berbincang dengan lelaki jangkung itu. Ferdi, dia bekerja sebagai dosen di salah satu universitas negeri di Jakarta. Awalnya aku merasa bosan dengan perbincangan ini. Dia hanya menceritakan pekerjaannya tanpa memberiku kesempatan bercerita. Tapi lama-lama aku mengerti kalau sebenarnya dia memang sudah tahu banyak tentangku. Masa kecilku, makanan favoritku, tempat biasa aku makan siang. Wah…. Diam-diam dia stalking’in aku “jadi, apa kamu mau menerima lamaranku, Nit?”Tanya Ferdi tiba-tiba “Uh” aku tersedak mendengar pertanyaan terakhir ferdi “what? Nerima? Dia ngelamar aku sekarang?”, batinku “maksud kamu?” aku mencoba memastikan pendengaranku “ehem.. Anita, maukah kamu menjadi ibu dari anak-anak ku” nada suara Ferdi terdengar lebih serius. Aku yang sebelumnya lebih banyak tertawa kini sedikit serius. Ku perhatikan sorot mata Ferdi. Dia bersungguh-sungguh. “kenapa kamu memilih aku mas?” tanyaku Ferdi terdiam sejenak. Kurasa dia sedang memikirkan jawaban terbaik agar aku bisa terpukau. “aku mencintaimu, Nit” Mencintaiku? Aku masih sangsi, kita baru bertemu langsung 2 kali. “beri aku waktu mas” Ferdi tersenyum. Aku sedikit lega, setidaknya senyumannya mengisyaratkan kalau ia tak keberatan dengan keputusanku. Setelah cukup lama berbincang dengan Ferdi. aku tahu, ferdi lelaki yang baik, pintar dan sholeh. Itu pandanganku sekilas, bagaimanapun aku harus tetap menunggu. Tuhan, jika ia memang jodohku, beri aku petunjuk-Mu. *** Hari ini aku pulang agak lambat. Ya.. hari ini kantorku mengirimku untuk menjadi perwakilan pelatihan di sebuah RS ternama di kota ku. Pelatihan ini berlangsung selama 1 minggu, dan ini adalah hari ketiga ku. Awalnya terasa menjenuhkan karena penyampaian teori yang terus diulang-ulang. Tapi jadwal hari ini ada praktik dengan objek langsung. Jadi tidak begitu membosankan. Kurebahkan badanku. Oh… rasanya ada tali mengikat kaki ku. Jilbabku masih bertengger di kepalaku. Aku beranjak dari tempat tidur melepas satu persatu aksesoris di jilbabku. Kunyalakan AC di kamar dan kembali merebahkan badanku di atas tempat tidur. kulirik jam dinding Winnie the pooh ku, pukul 4.30 WIB. Ya Allah, aku belum sholat ashar. Akhirnya kutunaikan kewajibanku. Kalau sudah sholat kan jadi tenang Ting tong ting tong… bell dirumah berbunyi nyaring. Aku pun segera mengenakan jilbab dan bergegas menuju sumber suara. Kulihat tamu dari balik jendela. Pengantar bunga. Kubuka pintu. Ia mengatakan ada kiriman bunga untukku dan memintaku tanda tangan seperti biasa. Bunga mawar dengan lily putih di tengah. Florist sama seperti bunga kiriman Ferdi. Ya Allah, aku kembali mengingat Ferdi, lelaki itu. Aku belum sempat berkomunikasi lagi dengannya. Hampir 1 minggu. Istikharahku? Aku belum melaksanakannya. Maafkan aku telah menggantungkanmu. Aku kembali ke kamar dan meletakan bunga mawar itu ke dalam vas di kamarku. Aku tersenyum geli. Ya Allah, perasaan apa ini. Aku merasa seperti terbang, melayang-layang. Bak berada di negeri dongeng. Girang. Apa karena bunga kiriman Ferdi. Ternyata dia romantic juga. Kembali kuraih bunga yang bertengger manis di vas. Ku cium, baunya sama seperti bunga lainnya. Tapi bedanya sang pengirim bunga. Kurasa aku mulai jatuh cinta padanya. Oh cinta… mudah sekali kukatakan cinta. Bukankah Anton, Vean dan Danar pun mengatakan sama. Nyatanya? Cinta mereka semua bias. Fiuh… Ada surat terselip diantara bunga mawar. Kuraih dan kubaca pelan-pelan. Syair. Masya Allah.. indah sekali syair nya. Adalah ketika bermula aku bersua Adalah ketika hati ini kembali terketuk Adalah ketika mataku dalam kidung cinta Adalah ketika senyuman menyembunyikan air mata yang berderai Rasanya, Aku mendengar sanak pepohonan merintih Aku mendengar bebatuan bertasbih Aku mendengar jin-jin mengoyak takbir Aku mengisyaratkan kalimah cinta Tak sempat ku kirimkan tameng untuk menghalau badai Bagai menenun kain dengan benang yang kuambil dari senyummu Indah, sukar Saat kubuka tabir penutupnya Kutemui kau memasang suluh dalam hati Rentangnya cukup jauh Adalah ketika aku harus kembali mendaki Menyusuri lereng, terjal Tak berkendali Adalah ketika aku menyimakmu dalam desiran cinta Adalah ketika tak seorangpun tahu, termasuk kau Lama sudah hati berpagut cinta Namun rasanya tak ingin ku menambah lara Kala itu, Namun bila kuamati kembali, wahai wanita Mengapa kau dianugerahi wajah indah rupawan Ingin rasanya bertahta di singgasana bersamanya Dan bukanlah bertanda cinta? Tiada waktu, tiada ruang Tiada suka, tiada duka Menguliti waktu menamai musim Aku merindukanmu ketika pagi tak lagi menampakkanmu Aku merindukanmu ketika hujan menghalau pandangku Aku seperti tak sanggup lagi mengepak sayap Mengikuti alur langkahmu Dan bukankah gejolak cinta? Tiada batas, tiada logika, tiada alasan Senantiasa menaungi dalam rahmat-Nya Kubaca sekali lagi puisi cinta itu. Kucoba artikan dalam hati. Subhanallah, dia sudah lama mencintaiku? Dalam diam. Kudekap lembar bertulis puisi cinta. Air mataku berlinang. Tak henti ku ucapkan syukur. Ya Allah, begitu pelik nya kisah cintaku. Aku senang namun masih ada ragu. Aku tak ingin peristiwa lama kembali terulang. 3 kali berturut-turut gagal menikah cukup membuatku merana. Ya Allah beri petunjukmu dalam sujudku. Mawar merah berbalut cinta. Aku tak tahu harus kemana arah Tak berujung, atau belum kutemui Dalam rasa gamang, aku menikmati tiap sentuh kalimahmu Ada suka, ada duka Aku butuh sekat, setidaknya untuk membedakan Ketika kucoba memahami Seolah semua menjadi sinar Namun sinar mentari pun tak akan lama Ia hanya mampu bertahan setengah sehari Aku tak mau kau menyinariku Kau datang saat sakitnya masih membekas Salahkah? Mungkin mudah mengacuhkanmu Aku tak ingin kembali dalam fatamorgana cinta Jika kau bertanya tentang waktu? Tentangku? Kapan aku harus kembali Aku tak tahu pasti Biar Tuhan menunjukan jalanku Dan hari penuh ketidakpastian itu pun berakhir surut Dan ketika kau katakan cinta tiada batasnya? Bukan makhluk penuh batas Aku tak ingin berdebat Biar kau jawab sendiri dengan kesadaran Biarkan aku terlelap Jiwaku butuh ketenangan Aku tak mau kau usik Jika hanya untuk bermain, alangkah baiknya kau merantau saja Jangan sekali-kali bersinggah Aku lebih menikmati hidupku sendiri Namun, jika Tuhan takdirkan aku untukmu Sejauh apapun kau kelana Kita akan bertemu, Kau ingat kisah Adam dan Hawa? Mungkin seperti itu sekilas Aku tak ingin merajut lama dalam cinta semu Teguhlah, yakinkan Semoga rahmat-Nya senantiasa menaungimu To be continue Patrol, 9 Desember 2013 #terbagi2 antara tugas laporan, cerpen dan NGANTUK… Hooaamm

Formulir Kontak