I’m overboard and I need your love pull me up…. Suara Jessica Jarel berdering di ponselku.
“Wa’alaikumsalam” jawabku setelah kudengar suara salam dari orang diseberang
“ Nita, jangan lupa nanti sore Ferdi akan ke kostan mu” suara mama terdengar serius
“Ferdi? Ferdi siapa ma?” tanyaku
“Calon suami mu sayang”
“apa? Calon suami?”
“kok kamu kaget? Bukannya kamu yang minta dicarikan jodoh sama mama dan papa?”
“iya sih, tapi kok secepat ini?” aku masih tidak percaya dengan ucapan mama sebelumnya
“Lebih cepat, Lebih baik sayang, mama pengen cepet-cepet nimang cucu dari kamu”
“tapi ma”
“ya sudah, yang penting nanti sore kamu dandan yang cantik ya, mudah-mudahan kamu cocok sama Ferdi, anaknya baik kok, assalamualaikum”
“ma,” tut tut tut
“waalaikumsalam”
Ah.. mama, kenapa harus nanti sore? Apa tidak terburu-buru kalau mengingat batalnya pernikahan ku dengan mas Anton 1 bulan yang lalu. Aku memang meninta mama dan papa untuk mencarikan jodohku, tapi bukan berarti harus secepat ini. Aku hanya menyerahkan saja. Aku trauma jika harus mencari sendiri calon suamiku.
Mas Anton. Dialah lelaki yang membuatku berfikir buruk tentang pernikahan. Dia yang membuat rencana pernikahan kami gagal. Bagaimana tidak, saat malam pernikahan kami, dia pergi bersama wanita lain, Sachaa ke India. Tempat kelahirannya. Dia mencampakkanku.
Harusnya mama mengerti kalau masih ada luka yang membekas dalam hatiku. 1 bulan itu singkat ma, tidak cukup aku untuk melupakannya. Bagaimana kalau Ferdi bukan tipe ku? Ah.. haruskah aku menyalahkan mama? Sudahlah, liat saja nanti sore, kuharap lelaki itu bukan lelaki macam Anton, Vean atau Danar.
***
“Nita” seseorang menepuk pundakku. Aku menolehkan wajahku. Kuperhatikan baik-baik wajahnya. Tidak asing wajah lelaki berkacamata di depanku. Dia tersenyum. Ku ingat-ingat lagi wajahnya.
“Agam ya?” tanyaku sedikit ragu-ragu. Takut salah menebak nama orang lebih tepatnya.
“iya Nit, gimana kabar mu? Lama ngga ketemu” jawab Agam. Ada senyum yang mengembang dibibirnya.
“kabarku baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri gimana?” aku balik bertanya. Tanganku masih memegang buku Dale Cornegie yang rencananya akan ku beli
“ya,, seperti yang kamu lihat sekarang” jawab Agam. Lelaki itu masih sama seperti saat aku mengenalnya 5 tahun silam. Teman satu organisasiku. Ramah. Karismatik. Cerdas. Bijak.
Perbincangan kami berlanjut dengan makan siang di salah satu restoran, mall tempat kami bertemu. Dia bercerita tentang pengalamannya kuliah di Kairo. Ya, dia memang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi nya disana. Saat harus kuliah sambil bekerja. Bertemu dengan orang-orang hebat. Dia benar-benar membuatku iri. Sementara aku, selepas kuliah hanya bekerja di RS swasta di Jakarta. Aku hanya bercerita tentang pengalamanku bekerja di RS. Saat aku mencoba daftar di Adelaid University dan mencari orang tua asuh. Ternyata hasilnya gagal total. Dia sering tertawa mendengar ceritaku, katanya aku seperti anak kecil sedang mengadu pada ibunya. Yang jelas aku tidak menceritakan tentang gagalnya pernikahanku, bisa-bisa restoran ini penuh air mata gara-gara terharu.
Agam memang hebat. Tiba-tiba aku teringat dengan tamu istimewa yang mama ceritakan. Kalau difikir-fikir, kenapa bukan Agam saja yang melamarku? Dia orang yang baik. Diam-diam aku tertarik.
Ah… lupakan Nita..!! dia hanya teman lama mu, paling dia sudah punya calon istri sendiri, apalagi di Kairo, perempuan disana terkenal cantik-cantik macam Cleopatra. Aku mana bisa dibandingkan.
“oh ya,, kalau boleh tau mana istrimu? Ngga diajak?” tanyaku
“Istri? Hahaha” pertanyaanku dijawab dengan gelak tawanya
“apa ada yang salah dengan pertanyaanku?” batinku
“iya”
“aku belum menikah Nita” tangannya tiba-tiba mencubit pipiku lalu kembali tertawa
Aah… emangnya aku anak kecil. Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal
“ohh… jadi kamu belum menikah” kurasa wajahku semakin terlihat bodoh
“iya belum, tapi sudah ada wanita yang akan ku lamar”
“Tuh kan” rutukku dalam hati
“iya, dia gadis yang baik, aku sudah mengenalnya sejak kuliah” lanjutnya
“pasti ketemu di Kairo” batinku menebak
“Doakan saja semoga lamaranku nanti berjalan lancar” ucap Agam
“iya semoga lancar, semoga perempuan beruntung itu terpikat padamu” kataku. Seharusnya aku ikut bahagia mendengar teman lamaku ini akan melamar. Seharusnya. Tapi kenapa ada sebersit rasa kecewa dalam hati ku ya? Akankah aku sedih? Oh… lupakan Nita, dia hanya teman lama, teman satu organisasi dulu.
Aku kembali teringat dengan tamu istimewa itu. Saat kulirik jam tanganku. Ya Tuhan, jam 3 sore, aku harus segera pulang. Walaupun aku sebal dengan keputusan mama menjodohkanku dengan lelaki yang disebut-sebut mama orang baik itu tapi setidaknya aku harus menghargai pilihan mama. Toh mama tidak memaksaku untuk mengiyakan, pada akhirnya keputusan ada di tanganku.
Aku pun segera berpamitan dengan Agam. Aku bilang kalau aku ada janji dengan orang lain. Ia pun tak keberatan.
Kursi baris kedua dekat jendela, menjadi saksi bisu pertemuan kami sore itu. Perasaan senang dan haru sempat menyeruak. Walaupun harus kusimpan rapat karena kutahu Agam sudah mempunyai pilihan lain. Semoga lelaki pilihan mama pun tak seburuk yang ku fikirkan. Menjadi imam untukku. Soleh dan mampu membimbingku kelak dalam membangun keluarga.
***
Menyebalkan. Apa ini yang disebut lelaki baik. Melanggar janji seenaknya, omelku
Kulihat jam dinding menunjukan pukul 21.00 WIB. Sekarang sudah malam, bukan sore lagi. Aku sudah menunggu lebih dari 4 jam. Mana tamu istimewa itu? Yang datang hanya pengantar bunga. Paling dari pak Wisnu, atasanku. Menyebalkan sekali. Aku hanya menaruh bunganya di meja tengah.
I’m overboard and I need your…
Mama
“Assalamualaikum cantik” suara mama terdengar dari ponselku
“Wa’alaikumsalam ma” jawabku
“gimana tadi? Udah ketemu Ferdi? Anaknya baik kan?” mama memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah kutebak sebelumnya
“udah ma, dalam mimpi” jawabku sebal
“lho kok jawabnya gitu tadi sore dia datang kan?” Tanya mama lagi
“Ngga ma, ngga ada yang datang satu pun”
“masa sih?” mama tak menghiraukan kekesalanku.
“Sayang besok lusa Ferdi dan keluarganya mau datang ke rumah, besok kamu pulang ya” Andai saja bukan mama yang memintaku.
“iya ma” aku pun mengiyakan perintah mama tanpa menawar sedikitpun. Rasanya sulit sekali bilang tidak untuk mama.
setelah mengucapkan selamat malam dan salam, mama pun menutup telfonnya.
Aku pun kembali berkutat bersama laptop yang sedari tadi menemaniku menunggu tamu istimewa yang tak kunjung datang.
***
Hiruk pikuk dirumahku tak membuatku bising. Di keramaian ini aku justru merasa sendiri. Aku tak tahu bagaimana keputusanku nanti. Aku tak mengenal Ferdi. Aku masih ragu apakah dia benar-benar baik atau sama saja seperti Anton, Vean dan Danar. Ah.. lagi-lagi tiga nama itu terngiang di otakku. Akankah aku bisa menemukan lelaki yang baik untuk menjadi imamku? Ya Tuhan.. aku merasa masih banyak kekurangan. Aku ingat nasihat mba Fitri setelah kuceritakan pengalaman pahitku dengan 3 lelaki itu. “Janji Allah nyata Nita. Jadi, kenapa perlu kamu ragu – ragu dengan janji Allah? Janji Allah itu kan PASTI! Tidak mungkin Allah ingkar, karena Allah maha menepati janji. Jadi, seandainya jodoh itu tak kunjung datang juga, mungkin saja ada yang salah dengan diri kita. Dari pada pusing untuk datang ke biro jodoh atau mencari dan mengejar jodoh melalui ramalan bahkan paranormal, lebih baik menunggu sembari berdoa agar diberikan jodoh yang terbaik oleh Allah. Wanita-wanita yang keji adalah untuk lelaki yang keji, dan lelaki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),dan wanita-wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
Mataku masih menatap cermin. Ada wanita berkerudung merah muda di depanku. Aku. Tiba-tiba air mata berlinang di pipiku. Jantungku berdetak cepat. Apakah lamaranku akan berjalan lancar sampai tiba saatnya pernikahanku?
Suara mama memanggilku, memintaku keluar kamar dan menemui tamu yang katanya akan melamarku.
Ya Allah, kuatkan imanku, peganganku dan hatiku dalam menanti Jodoh ketentuan-Mu dan terus-teruslah lindungi aku walau aku sendiri yang seringkali lalai dan alpa..amin...
***
To be contined
Sekarang aku sedang duduk manis di sofa, di sebelah kananku ada mama yang sedang berbincang dengan mamanya Ferdi, entah apa yang sedang mereka bicarakan seperti nostalgia jamannya SMA. Papa juga sama, tapi beda papa dan papa nya Ferdi sedang membicarakan masalah bisnis. Aku sendirian, mana Ferdi? Katanya ini acara lamaran, tapi kok seperti acara reuni orang tua. Heuh… tau gini mending ngga usah aja.
“Oya, mana Ferdi?” Tanya mama, mungkin mama melihat gelagatku yang sedikit gusar
“Ferdi masih di luar, sedang angkat telfon dari kantor katanya” jawab papa Ferdi, yang kini kukenal bernama Pa Rudi
“kalau gitu, mending Nita keluar aja samperin Ferdi” ucap mamaku
“aku ma?” aku mengernyitkan dahi
“Ga salah?, aku yang nyamperin cowok itu? Ini siapa yang mau ngelamar sebenernya? Ahh.. 2 point negative buat Ferdi, satu, ingkar janji, dua, menyepelekan lamaranku. Jadi ngga yakin sama nih orang” gerutu ku dalam hati
“ngobrolnya di taman saja Nit” timpal papaku
Aku pun segera beranjak dari dudukku menuju teras rumah. Ada lelaki yang sedang berdiri memunggungiku. Aku diam saja menunggu ia menyelesaikan telfonnya.
“ah.. mama, kenapa harus memintaku menemuinya, harusnya aku menunggu saja di dalam” sesalku dalam hati
“hai” salam lelaki itu, rupanya ia telah menyelesaikan telfonnya
“ha hai” jawabku terbata-bata
Ya Tuhan,, mimpi apa aku semalam? Di depanku kini telah berdiri sosok yang sangat rupawan. Wajahnya tak asing. Tunggu dulu, bukankah ia si pengirim bunga kemarin lusa? Ya Tuhan,, pantas saja aku tak mengenalnya.
Aku mengajaknya ke taman rumah. Berbincang dengan lelaki jangkung itu. Ferdi, dia bekerja sebagai dosen di salah satu universitas negeri di Jakarta. Awalnya aku merasa bosan dengan perbincangan ini. Dia hanya menceritakan pekerjaannya tanpa memberiku kesempatan bercerita. Tapi lama-lama aku mengerti kalau sebenarnya dia memang sudah tahu banyak tentangku. Masa kecilku, makanan favoritku, tempat biasa aku makan siang.
Wah…. Diam-diam dia stalking’in aku
“jadi, apa kamu mau menerima lamaranku, Nit?”Tanya Ferdi tiba-tiba
“Uh” aku tersedak mendengar pertanyaan terakhir ferdi
“what? Nerima? Dia ngelamar aku sekarang?”, batinku
“maksud kamu?” aku mencoba memastikan pendengaranku
“ehem.. Anita, maukah kamu menjadi ibu dari anak-anak ku” nada suara Ferdi terdengar lebih serius. Aku yang sebelumnya lebih banyak tertawa kini sedikit serius.
Ku perhatikan sorot mata Ferdi. Dia bersungguh-sungguh.
“kenapa kamu memilih aku mas?” tanyaku
Ferdi terdiam sejenak. Kurasa dia sedang memikirkan jawaban terbaik agar aku bisa terpukau.
“aku mencintaimu, Nit”
Mencintaiku? Aku masih sangsi, kita baru bertemu langsung 2 kali.
“beri aku waktu mas”
Ferdi tersenyum. Aku sedikit lega, setidaknya senyumannya mengisyaratkan kalau ia tak keberatan dengan keputusanku.
Setelah cukup lama berbincang dengan Ferdi. aku tahu, ferdi lelaki yang baik, pintar dan sholeh. Itu pandanganku sekilas, bagaimanapun aku harus tetap menunggu. Tuhan, jika ia memang jodohku, beri aku petunjuk-Mu.
***
Hari ini aku pulang agak lambat. Ya.. hari ini kantorku mengirimku untuk menjadi perwakilan pelatihan di sebuah RS ternama di kota ku. Pelatihan ini berlangsung selama 1 minggu, dan ini adalah hari ketiga ku. Awalnya terasa menjenuhkan karena penyampaian teori yang terus diulang-ulang. Tapi jadwal hari ini ada praktik dengan objek langsung. Jadi tidak begitu membosankan.
Kurebahkan badanku. Oh… rasanya ada tali mengikat kaki ku. Jilbabku masih bertengger di kepalaku. Aku beranjak dari tempat tidur melepas satu persatu aksesoris di jilbabku. Kunyalakan AC di kamar dan kembali merebahkan badanku di atas tempat tidur. kulirik jam dinding Winnie the pooh ku, pukul 4.30 WIB. Ya Allah, aku belum sholat ashar. Akhirnya kutunaikan kewajibanku.
Kalau sudah sholat kan jadi tenang
Ting tong ting tong… bell dirumah berbunyi nyaring. Aku pun segera mengenakan jilbab dan bergegas menuju sumber suara. Kulihat tamu dari balik jendela. Pengantar bunga. Kubuka pintu. Ia mengatakan ada kiriman bunga untukku dan memintaku tanda tangan seperti biasa.
Bunga mawar dengan lily putih di tengah. Florist sama seperti bunga kiriman Ferdi. Ya Allah, aku kembali mengingat Ferdi, lelaki itu. Aku belum sempat berkomunikasi lagi dengannya. Hampir 1 minggu. Istikharahku? Aku belum melaksanakannya. Maafkan aku telah menggantungkanmu.
Aku kembali ke kamar dan meletakan bunga mawar itu ke dalam vas di kamarku. Aku tersenyum geli. Ya Allah, perasaan apa ini. Aku merasa seperti terbang, melayang-layang. Bak berada di negeri dongeng. Girang. Apa karena bunga kiriman Ferdi. Ternyata dia romantic juga.
Kembali kuraih bunga yang bertengger manis di vas. Ku cium, baunya sama seperti bunga lainnya. Tapi bedanya sang pengirim bunga. Kurasa aku mulai jatuh cinta padanya. Oh cinta… mudah sekali kukatakan cinta. Bukankah Anton, Vean dan Danar pun mengatakan sama. Nyatanya? Cinta mereka semua bias. Fiuh…
Ada surat terselip diantara bunga mawar. Kuraih dan kubaca pelan-pelan. Syair. Masya Allah.. indah sekali syair nya.
Adalah ketika bermula aku bersua
Adalah ketika hati ini kembali terketuk
Adalah ketika mataku dalam kidung cinta
Adalah ketika senyuman menyembunyikan air mata yang berderai
Rasanya,
Aku mendengar sanak pepohonan merintih
Aku mendengar bebatuan bertasbih
Aku mendengar jin-jin mengoyak takbir
Aku mengisyaratkan kalimah cinta
Tak sempat ku kirimkan tameng untuk menghalau badai
Bagai menenun kain dengan benang yang kuambil dari senyummu
Indah, sukar
Saat kubuka tabir penutupnya
Kutemui kau memasang suluh dalam hati
Rentangnya cukup jauh
Adalah ketika aku harus kembali mendaki
Menyusuri lereng, terjal
Tak berkendali
Adalah ketika aku menyimakmu dalam desiran cinta
Adalah ketika tak seorangpun tahu, termasuk kau
Lama sudah hati berpagut cinta
Namun rasanya tak ingin ku menambah lara
Kala itu,
Namun bila kuamati kembali, wahai wanita
Mengapa kau dianugerahi wajah indah rupawan
Ingin rasanya bertahta di singgasana bersamanya
Dan bukanlah bertanda cinta?
Tiada waktu, tiada ruang
Tiada suka, tiada duka
Menguliti waktu menamai musim
Aku merindukanmu ketika pagi tak lagi menampakkanmu
Aku merindukanmu ketika hujan menghalau pandangku
Aku seperti tak sanggup lagi mengepak sayap
Mengikuti alur langkahmu
Dan bukankah gejolak cinta?
Tiada batas, tiada logika, tiada alasan
Senantiasa menaungi dalam rahmat-Nya
Kubaca sekali lagi puisi cinta itu. Kucoba artikan dalam hati. Subhanallah, dia sudah lama mencintaiku? Dalam diam. Kudekap lembar bertulis puisi cinta. Air mataku berlinang. Tak henti ku ucapkan syukur. Ya Allah, begitu pelik nya kisah cintaku. Aku senang namun masih ada ragu. Aku tak ingin peristiwa lama kembali terulang. 3 kali berturut-turut gagal menikah cukup membuatku merana. Ya Allah beri petunjukmu dalam sujudku.
Mawar merah berbalut cinta. Aku tak tahu harus kemana arah
Tak berujung, atau belum kutemui
Dalam rasa gamang, aku menikmati tiap sentuh kalimahmu
Ada suka, ada duka
Aku butuh sekat, setidaknya untuk membedakan
Ketika kucoba memahami
Seolah semua menjadi sinar
Namun sinar mentari pun tak akan lama
Ia hanya mampu bertahan setengah sehari
Aku tak mau kau menyinariku
Kau datang saat sakitnya masih membekas
Salahkah?
Mungkin mudah mengacuhkanmu
Aku tak ingin kembali dalam fatamorgana cinta
Jika kau bertanya tentang waktu? Tentangku?
Kapan aku harus kembali
Aku tak tahu pasti
Biar Tuhan menunjukan jalanku
Dan hari penuh ketidakpastian itu pun berakhir surut
Dan ketika kau katakan cinta tiada batasnya?
Bukan makhluk penuh batas
Aku tak ingin berdebat
Biar kau jawab sendiri dengan kesadaran
Biarkan aku terlelap
Jiwaku butuh ketenangan
Aku tak mau kau usik
Jika hanya untuk bermain, alangkah baiknya kau merantau saja
Jangan sekali-kali bersinggah
Aku lebih menikmati hidupku sendiri
Namun, jika Tuhan takdirkan aku untukmu
Sejauh apapun kau kelana
Kita akan bertemu,
Kau ingat kisah Adam dan Hawa?
Mungkin seperti itu sekilas
Aku tak ingin merajut lama dalam cinta semu
Teguhlah, yakinkan
Semoga rahmat-Nya senantiasa menaungimu
To be continue
Patrol, 9 Desember 2013
#terbagi2 antara tugas laporan, cerpen dan NGANTUK… Hooaamm
